Oleh: Risal Sangadji, S.H (Praktisi Hukum Kabupaten Sula)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu fondasi demokrasi di Indonesia, dan keberlangsungannya harus dilandasi oleh prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan integritas.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota telah menjadi payung hukum untuk memastikan bahwa proses demokrasi tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Namun, beberapa hari lalu muncul dugaan bahwa pasangan Hj Fifian Ade Ningsi Mus dan M. Saleh Marasabessy (FAM-SAH), yang merupakan calon petahana yang sedang menjalankan pemerintahan, melakukan serangkaian tindakan yang melanggar aturan yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut.
Salah satu dugaan pelanggaran yang mencuat adalah terkait pembagian 80 unit sepeda motor 110 cc kepada seluruh kepala desa se-Kepulauan Sula pada 18 September 2024 di istana daerah Kabupaten Kepulauan Sula.
Pembagian ini dilakukan dalam masa yang dilarang oleh Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 71 ayat (3), yang secara tegas melarang petahana menggunakan kewenangan dan program pemerintah untuk kepentingan politik selama enam bulan sebelum penetapan calon hingga penetapan calon terpilih.
Walaupun program pengadaan sepeda motor ini telah direncanakan awal tahun, pelaksanaan pembagiannya di waktu yang dilarang oleh undang-undang menimbulkan kecurigaan adanya upaya mempengaruhi kepala desa untuk mendukung pasangan FAM-SAH dalam Pilkada.
Tidak hanya itu, pasangan FAM-SAH juga diduga memanfaatkan tagline Sula Bahagia yang merupakan bagian dari visi dan misi pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula yang tertuang dalam rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026.
Penggunaan tagline yang identik dengan program pemerintah ini, jika dilihat dari perspektif hukum, dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan program pemerintah untuk kepentingan politik pribadi. Selanjutnya, pasangan ini juga dilaporkan telah melantik 49 kepala desa dan 471 anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selama masa larangan tersebut.
Pelantikan yang dilakukan dalam kurun waktu mendekati Pilkada dapat menimbulkan dugaan adanya upaya untuk memengaruhi suara kepala desa dan BPD, yang pada akhirnya bisa menguntungkan pasangan FAM-SAH dalam pemilihan mendatang.
Dugaan lain yang juga cukup serius adalah keterlibatan pasangan FAM-SAH dalam pengarahan kepada kepala desa dan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mendukung pencalonan mereka.
Bukti laporan dari Yusri Bermawi ke Bawaslu yang kemudian direkomendasikan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), mengindikasikan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan terkait netralitas ASN dalam pemilu.
ASN yang seharusnya bersikap netral, justru diduga diarahkan untuk mendukung pasangan petahana. Berdasarkan semua dugaan pelanggaran tersebut, maka Pasal 71 ayat (5) dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menjadi sangat relevan.
Ayat tersebut menyatakan bahwa apabila petahana melanggar ketentuan terkait penggunaan kewenangan, program, dan kegiatan untuk kepentingan politik, maka petahana tersebut bisa dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mengingat beratnya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan FAM-SAH, maka seharusnya KPU Kabupaten Kepulauan Sula mempertimbangkan dengan serius laporan-laporan ini ketika akan menetapkan pasangan ini sebagai calon bupati dan wakil bupati.
Dalam menjaga integritas Pilkada, setiap dugaan pelanggaran harus diusut secara tuntas. KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas jalannya pemilu memiliki peran penting untuk menegakkan aturan dengan adil.
Jika benar terjadi pelanggaran, maka sanksi yang tegas harus dijatuhkan, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Harapannya, Pilkada di Kepulauan Sula, dan di seluruh Indonesia, dapat berjalan dengan bersih, jujur, dan adil, demi menjaga marwah birokrasi.