PM,TOBELO –Di tengah gemuruh modernisasi dan serbuan budaya global, suara lembut dari pelosok Halmahera Utara kembali menggema hingga ke panggung nasional. Ia datang dalam wujud seorang anak kelas 5, yang tak hanya membawa nama sekolahnya, tapi juga jati diri dan warisan budaya leluhur. Dialah Petra Driwo Jiovano Arbaan Balisosa, siswa SDN Togihoro, Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten Halmahera Utara, yang terpilih mewakili Provinsi Maluku Utara dalam ajang Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Nasional 2025.
Yang membuat kisah Petra semakin menggetarkan hati, bukan hanya karena ia berasal dari sekolah di wilayah pelosok, tapi karena ia tampil membawakan dongeng dalam Bahasa Tobelo—bahasa ibunya yang sarat nilai dan makna budaya. Dalam panggung nasional yang sarat bakat dari seluruh pelosok Nusantara, Petra hadir bukan hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap kepunahan budaya daerah.
Festival ini diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, di bawah naungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ajang ini menjadi medan mulia untuk menyemai rasa cinta generasi muda terhadap bahasa ibu, serta memperkuat akar identitas bangsa sejak dini.
Agustina Loleo, guru pendamping Petra yang turut mendampingi keberangkatan ke Jakarta, tak kuasa menyembunyikan rasa bangganya.
“Selamat buat Petra! Sekolah kami, SDN Togihoro ini bisa dibilang berada di wilayah pelosok, tetapi saya selalu tanamkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk tidak berprestasi. Anak-anak kita bisa bersaing, bahkan bisa membawa harum nama Halmahera Utara dan Maluku Utara di tingkat nasional,” ujarnya penuh semangat.
Ia berharap keikutsertaan Petra dapat menjadi api semangat baru bagi anak-anak lain di Halmahera Utara dan Maluku Utara secara umum.
“Saya ingin ini jadi bukti bahwa semua anak didik bisa bersinar—asal punya semangat, kemauan belajar, dan tidak malu membawa identitas budaya daerahnya,” tambah Agustina.
Tak hanya dari pihak sekolah, dukungan juga datang dari kalangan budayawan. Jesaya R. Banari, tokoh budaya Halmahera Utara, melihat kiprah Petra sebagai momentum kebangkitan.
“Ketika anak-anak seperti Petra mampu berdongeng dalam bahasa ibu di panggung nasional, itu bukan hanya prestasi, tetapi pernyataan: bahwa kita tidak akan membiarkan budaya kita punah. Petra adalah suara Tobelo, suara Halmahera, dan suara Maluku Utara yang masih hidup,” ungkapnya.
Yang lebih membanggakan lagi, di puncak acara FTBI Nasional 2025, Petra bahkan diberi kehormatan sebagai pemeran utama dalam pertunjukan mendongeng, tetap menggunakan Bahasa Tobelo sebagai medium utama. Hebatnya, Petra mampu menguasai seluruh naskah hanya dalam waktu dua hari—sebuah prestasi luar biasa yang menunjukkan dedikasi, kecintaan, dan kecerdasannya.(sam)