‘No Comment’ Wakil Rakyat Pulau Mangoli Soal DOB: Tanda Krisis Perwakilan

Foto ilustrasi

“Kalian berdiri di pihak siapa?”

Oleh: Mohtar Umasugi

Wacana pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) kembali mencuat di Kabupaten Kepulauan Sula, khususnya mengenai dorongan pembentukan kabupaten baru di wilayah Pulau Mangoli. Sebagaimana berita yang disuguhkan media online pojokmalut.com pagi ini dengan judul “Terkait DOB. DPRD Dapil 3 Dan 4 Bisu. Warga Nyatakan Sikap”

Namun, gelombang aspirasi masyarakat ini justru tidak mendapat respons yang signifikan dari para wakil rakyat, khususnya anggota DPRD Kabupaten Sula dari Daerah Pemilihan (Dapil) 3 dan 4 Pulau Mangoli.

Sikap diam yang ditunjukkan oleh para legislator tersebut menuai kritik keras dari publik, bahkan memunculkan tantangan terbuka agar mereka segera menyatakan sikap secara terbuka.

Padahal, inisiatif DOB semestinya dilihat sebagai upaya pemerataan pembangunan dan percepatan pelayanan publik. Wilayah-wilayah terpencil yang selama ini tertinggal secara infrastruktur dan akses pemerintahan, sangat berharap pada mekanisme DOB untuk mendapatkan perhatian yang lebih proporsional dari negara.

Namun, ketika suara perwakilan rakyat justru senyap di tengah tuntutan masyarakat, muncul pertanyaan besar: masihkah para wakil rakyat itu benar-benar membawa suara rakyat, atau justru terperangkap dalam kepentingan politik jangka pendek dan ketakutan bersikap?

Secara politik, diamnya DPRD Dapil 3 dan 4 bisa ditafsirkan sebagai bentuk political disengagement atau penarikan diri dari isu strategis yang mestinya menjadi perhatian utama mereka. Dalam konteks perwakilan, ini adalah pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi: perwakilan politik yang aktif dan aspiratif.

Jika benar bahwa sebagian legislator khawatir kehilangan “basis suara” atau kehilangan akses dalam sistem baru pasca-pemekaran, maka ini adalah bentuk kepentingan pribadi yang mengorbankan kebutuhan kolektif.

Sikap “bisu” para anggota dewan juga dapat dianalisis sebagai bentuk ketakutan politik. Bisa jadi mereka menunggu sikap resmi dari elite partai atau penguasa eksekutif daerah, sehingga kehilangan keberanian untuk tampil sebagai penyambung lidah rakyat secara otonom. Dalam sistem demokrasi lokal yang ideal, seharusnya para legislator menjadi motor penggerak aspirasi rakyat, bukan pengikut pasif dinamika elite.

Respons masyarakat yang menantang para legislator untuk menyatakan sikap patut diapresiasi sebagai bentuk kontrol sosial dan partisipasi demokratis.

Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai sadar akan pentingnya akuntabilitas politik. Warga tidak lagi sekadar menjadi penonton dalam arus kebijakan, tapi aktif meminta kejelasan: kalian berdiri di pihak siapa?

Momen ini seharusnya menjadi refleksi mendalam bagi DPRD, terutama mereka yang berasal dari wilayah-wilayah potensial DOB.

Jika mereka terus memilih diam, bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat akan runtuh dan menimbulkan krisis legitimasi politik di tingkat lokal. Diam adalah pilihan, tapi di tengah ketidakadilan pembangunan dan ketimpangan pelayanan, diam juga bisa bermakna pengkhianatan.

Pemekaran daerah bukan hanya soal pembagian wilayah administratif. Ia menyangkut cita-cita pemerataan, keadilan, dan pengakuan terhadap wilayah yang selama ini berada di pinggiran.

Di tengah situasi ini, diamnya anggota DPRD Dapil 3 dan 4 wilayah Pulau Mangoli adalah ironi politik yang menyedihkan. Harapan rakyat menanti nyali politik yang jujur bukan sekadar basa-basi menjelang pemilu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *