“Demokrasi yang takut mati adalah demokrasi yang kehilangan nyawa solidaritas. Dan ZIS adalah salah satu jantungnya”
Opini oleh: Bobby Fachrudin
Kita sering berbangga hidup di alam demokrasi. Konsep luhur “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” seolah menjadi mantra sakral yang terus diulang di ruang publik, ruang kelas, hingga ruang kekuasaan.
Tetapi benarkah prinsip itu hidup dalam kebijakan dan perilaku bernegara? Atau jangan-jangan demokrasi kita cuma berani hidup tapi takut mati, ketika dihadapkan pada hal-hal substansial seperti keadilan sosial dan distribusi kesejahteraan?
Salah satu bentuk keadilan sosial yang nyaris luput dari sorotan demokrasi formal kita adalah Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS). Ketiganya bukan sekadar ajaran agama, melainkan mekanisme distribusi kekayaan yang telah terbukti sejak ribuan tahun lalu sebagai solusi konkret mengatasi ketimpangan.
Jika benar demokrasi menempatkan rakyat sebagai poros utama, maka ZIS layak diakui sebagai instrumen yang sah dan setara dengan pajak negara.
Namun realitasnya, ZIS sering kali dipandang remeh disepelekan sebagai aktivitas kuno, atau sekadar bentuk belas kasihan menjelang hari raya. Padahal, kontribusi ZIS secara riil mampu mengimbangi beban negara.
Dalam banyak kasus, Zakat telah membantu pendidikan, layanan kesehatan, ekonomi mikro, hingga ketahanan pangan masyarakat kecil. Apakah kita akan terus membiarkan potensi ini dianggap marginal?
Lebih jauh, ZIS juga merupakan bentuk kesadaran sosial berbasis spiritual, bukan hanya kewajiban finansial. Ia tidak diskriminatif terhadap kelas sosial. Bahkan bagi yang belum mampu berzakat, ajakan untuk berinfak atau bersedekah menjadi pintu masuk solidaritas yang inklusif.
Di sinilah nilai demokrasi sejati diuji apakah keadilan hanya milik yang punya kekuasaan dan modal, atau benar-benar diperjuangkan dari bawah?
Di era digital saat ini, ZIS sudah bertransformasi secara masif. Tidak lagi identik dengan kotak amal atau pembagian sembako musiman, tapi berkembang dengan fitur-fitur profesional: zakat pertanian, kelautan, zakat profesi, hingga zakat bisnis.
Bahkan aparatur negara pun bisa menghitung zakatnya sebagai bagian dari etika pelayanan publik. Sayangnya, dukungan sistemik terhadap ini masih belum optimal.
Negara semestinya hadir bukan hanya sebagai pemungut pajak, tapi juga sebagai fasilitator kesadaran kolektif untuk berzakat. Kehadiran BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) adalah bukti negara peduli. Tapi tugas kita belum selesai.
Transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat harus jadi prioritas. Rekrutmen amil zakat harus terbuka dan berdasarkan kompetensi bukan nepotisme, politik, atau warisan jabatan.
Amirul Mukminin Umar bin Khattab pernah menegaskan bahwa zakat adalah pilar keadilan sosial. Bahkan bisa dibilang, dalam konteks tertentu, lebih demokratis daripada demokrasi itu sendiri, karena berbasis pada empati, bukan hanya suara mayoritas.
Maka sudah waktunya kita berani membuka “kran” kebijakan yang lebih progresif dalam memuliakan ZIS sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi yang adil dan beradab.
Demokrasi yang takut mati adalah demokrasi yang kehilangan nyawa solidaritas. Dan ZIS adalah salah satu jantungnya.













