Oleh: Loko Putra
Pulau Mangoli hari ini berdiri di titik kritis sejarahnya: sebuah persimpangan antara cita-cita otonomi dan bayang-bayang eksploitasi.
Di tengah gencarnya aspirasi untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Pulau Mangoli, tersembunyi kekhawatiran mendalam tentang keberlanjutan ekologis pulau ini.
Sebab bersamaan dengan dorongan pemekaran, 10 izin usaha pertambangan (IUP) telah lebih dulu mengantongi legalitas eksploitasi, bahkan sebelum status administratifnya sebagai kabupaten disahkan.
Aspirasi yang Tak Sekadar Musiman
Desakan pemekaran Mangoli bukanlah gelombang instan yang timbul karena momentum politik sesaat. Ia adalah ekspresi struktural dari rasa timpang yang telah lama dirasakan oleh masyarakat.
Jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sula, masyarakat Mangoli hidup dengan akses terbatas terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Ketimpangan inilah yang sejak lama membakar semangat perjuangan.
Upaya pemekaran ini memiliki sejarah panjang. Sejak 2009, di bawah kepemimpinan Bupati Ahmad Hidayat Mus, telah dideklarasikan keinginan memekarkan Kabupaten Pulau Mangoli dalam sebuah prosesi simbolis di Falabisahaya.
Langkah itu menandai awal dari perjalanan panjang menuju pengakuan administratif yang diharapkan membawa perubahan nyata.
Terbaru, pada 31 Mei 2023, Tim Pemekaran Pulau Mangoli yang terdiri dari akademisi dan tokoh-tokoh lokal menyerahkan dokumen kajian resmi kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula.
Penyerahan dilakukan oleh Ketua Tim, Prof. Dr. Muhadam Labolo, M.Si, kepada Bupati Hj. Fifian Adeningsi Mus, menandai langkah konkret dalam perjuangan ini.
Tahun 2025, gerakan ini kembali mendapat energi baru lewat Forum Perjuangan Pemekaran Pulau Mangoli (FPPPM), wadah yang terdiri dari tokoh adat, pemuda, akademisi, hingga perwakilan desa.
Forum ini hadir sebagai pengawal harapan dan sebagai garda depan untuk memastikan bahwa aspirasi ini tidak tersesat di jalan.
Ketika Harapan Bertemu Ancaman
Namun, harapan untuk berdikari tidak berjalan mulus. Di balik impian akan kemandirian, Pulau Mangoli menghadapi ironi yang mencemaskan.
Sepuluh izin usaha tambang kini tersebar di berbagai wilayahnya mengancam hutan, ekosistem laut, dan kehidupan masyarakat lokal. Yang lebih memprihatinkan, wilayah ini belum memiliki perangkat administratif yang kuat untuk mengontrol atau bahkan sekadar memantau aktivitas eksploitasi tersebut.
Dalam kondisi tanpa pengawasan yang memadai, Pulau Mangoli bisa menjadi korban dari apa yang disebut sebagai ekonomi ekstraktif sebuah model pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya tanpa memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal.
Alih-alih mendapatkan pemerataan pembangunan, bisa jadi yang diwariskan adalah kerusakan ekologis dan konflik sosial.
Menuju Otonomi yang Berkeadilan
Pertanyaan besar kini mengemuka: apakah otonomi benar-benar menjadi jalan keluar menuju pembangunan yang adil dan berkelanjutan? Ataukah justru menjadi pintu masuk yang lebih lebar bagi investasi tambang yang tak terkendali?
Otonomi seharusnya tidak semata dimaknai sebagai pemisahan administratif. Ia harus menjadi instrumen untuk memperkuat tata kelola, menjamin hak-hak masyarakat adat, serta memastikan keberlanjutan lingkungan. DOB hanya akan berarti jika ia menjadi dasar bagi pembangunan yang menghormati ekologi dan martabat manusia.
Menjaga Mangoli untuk Generasi Mendatang
Pulau Mangoli tidak hanya membutuhkan pengakuan sebagai kabupaten. Ia membutuhkan visi jangka panjang. Sebuah visi yang memastikan bahwa tanah ini bukan hanya tempat mencari keuntungan, tetapi ruang hidup yang lestari bagi generasi sekarang dan mendatang.
Otonomi bisa menjadi cahaya harapan, tetapi tanpa kendali dan arah yang jelas, ia bisa berubah menjadi lubang gelap eksploitasi.
Karena itu, perjuangan pemekaran Pulau Mangoli harus dikawal tidak hanya dengan semangat, tetapi juga dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan ekologis dan kesejahteraan masyarakat.